Sejarah Perkembangan Psikologi Sastra

 Sejarah Perkembangan Psikologi Sastra

Sejak zaman Yunani Kuno, sudah banyak yang menaruh perhatian terhadap kebesaran para ahli pikir dan pujangga waktu itu. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang luar biasa, yang berbicara dan bertingkah laku di luar kesadarannya. Lalu, banyak di antaranya yang menghubungkannya, bahwa yang dialami para pujangga itu adalah keadaan antara neurotik dan psikosis.

Tokoh yang pertama memperkenalkan dasar pendekatan psikologi ini adalah Aristoteles (384-322 SM). Meskipun dia lebih dikenal sebagai filsuf dan tokoh formalisme, dalam karya Poetica-nya, Aristoteles telah memakai istilah katharsis untuk menggambarkan luapan emosi pengarang yang terungkapkan dalam karyanya. Gejala psikis ini yang lalu dipakai salah satu penyelidikan psikologis sastra.

Latar belakang munculnya pendekatan psikologi sastra disebabkan oleh meluasnya perkenalan sarjana-sarjana sastra dengan ajaran-ajaran Freud yang mulai diterbitkan dalam bahasa Inggris, terutama The Interpretation of Dreaming (Penafsiran Mimpi) dan Three Contributions to a Theory of Sex (Tiga Karangan tentang Teori Seksualitas) dalam dekade menjelang perang dunia (Hardjana, 1984:59).

Pendekatan psikologi sastra antara lain dirintis oleh I.A. Richards, melalui bukunya yang berjudul Principles of Literary Criticism (1924). Dalam buku tersebut Richards mencoba menghubungkan kritik sastra dengan uraian psikologi sistematik. Dijelaskan olehnya pengertian hakikat pengalaman sastra yang terpadu, sebagaimana diajarkan oleh psikologi Gestaltt dan pembaharuan bahasa kiritik sastra. Menurutnya, bahasa kritik sastra mendukung pandangan bahwa karya sastra sebagai suatu objek estetik tidak mempunyai pengaruh, sebab karya sastra tidak lain adalah sebuah pengalaman pribadi pembacanya (Hardjana, 1984: 60).

Richards menentang idialisme estetik atau pendirian “seni untuk seni” dengan mementingkan daya komunikasi karya seni. Menurutnya, seni berarti hanyalah seni yang mampu berkomunikasi. Dalam hal ini nilai karya seni terletak pada kemampuannya menjalin sikap-sikap yang saling bertentangan secara efisien. Oleh pandangannya tersebut, Richards disebut sebagai bapak poetika ketegangan oleh Wimsatt dan Brooks. Dalam hal ini karya seni (termasuk sastra) haruslah mendamaikan pertentangan atau nilai-nilai yang saling berlawanan, seperti baik buruk, jahat berbudi, dan sebagainya.

Bagikan ke WhatsApp

Pengertian Psikologi Sastra

Pengertian Psikologi Sastra


Wellek dan Austin (1989), Psikologi secara sempit dapat diartikan sebagai ilmu tentang jiwa. Sedangkan sastra adalah ilmu tentang karya seni dengan tulis-menulis. Maka jika diartikan secara keseluruhan, psikologi sastra merupakan ilmu yang mengkaji karya sastra dari sudut kejiwaannya. Ratna (2004:340)

Istilah psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi pengarang . Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga studi psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dan yang keempat mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).  Namun didasarkan pada pendekatan psikologis lebih dekat dengan pengarang dan karya sastra maka lebih berhubungan pada tiga gejala utama yaitu, pengarang, karya sastra dan pembaca  Ratna (2004:61) .Maka pendekatan psikologis sastra pada pengarang lebih pada pada pendekatan ekspresif, yaitu kepengarangan. Pada karya sastra lebih pada pendekatan objektif. 

Menurut Ratna (2004:350), “Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis”. Artinya, psikologi turut berperan penting dalam menganalisis sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya. Dengan dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin yang terkandung dalam karya sastra. Secara umum dapat disimpulkan bahwa hubungan antara sastra dan psikologi sangat erat hingga melebur dan melahirkan ilmu baru yang disebut dengan “Psikologi Sastra”. Artinya, dengan meneliti sebuah karya sastra melalui pendekatan Psikologi Sastra, secara tidak langsung kita telah membicarakan psikologi karena dunia sastra tidak dapat dipisahkan dengan nilai kejiwaan yang mungkin tersirat dalam karya sastra tersebut.

Dari beberapa pendapat para ahli mengenai psikologi sastra,  dapat ditarik benang merah mengenai definisi psikologis satra yaitu kajian teori konsep psikologi yang diterapkan pada karya sastra pada pengarang dan penokohan. Namun dalam terapannya psikologis sastra lebih memberikan pada unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya sastra.

Psikologis sastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah psikologis praktis seperti kejiwaan manusia. Namun memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra. Meskipun demikian psikologi sastra tidak terlepas dalam kebutuhan masyarakat. Secara tidak langsung karya sastra memberikan pemahaman dan inspirasi terhadap masyarakat.

Psikologi sastra merupakan salah satu kajian sastra yang bersifat interdisipliner, karena memahami dan mengkaji sastra dengan menggunakan berbagai konsep dan kerangka teori yanga ada dalam psikologi.

Psikokogi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian, yaitu studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi, proses kreatif, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, dan mempelajari dampak sastra pada pembaca.

 

Bagikan ke WhatsApp

Latar Belakang Masalah Teori Psikologi Sastra

Latar Belakang Masalah Teori Psikologi Sastra

Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam kehidupannya, maka ia tidak saja merupakan suatu media untuk menyampaikan ide, teori atau sistem berpikir tetapi juga merupakan media untuk menampung ide, teori serta sistem berpikir manusia. Sebagai karya kreatif, sastra harus mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia, di samping sastra harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan umat manusia (Semi, 1993:8).

Setiap manusia merupakan individu yang berbeda dengan individu lainnya.Ia mempunyai watak, temperamen, pengalaman, pandangan dan perasaan sendiri yang berbeda dengan lainnya. Namun demikian, manusia hidup tidak lepas dari manusia lain. Pertemuan antarmanusia yang satu dengan manusia yang lain tidak jarang menimbulkan konflik, baik konflik antara individu, kelompok maupun anggota kelompok serta antara anggota kelompok yang satu dan anggotakelompok lain. Karena sangat kompleksnya, manusia juga sering mengalami konflik dalam dirinya atau konflik batin sebagai reaksi terhadap situasi sosial di lingkungannya. Dengan kata lain, manusia selalu dihadapkan pada persoalanpersoalan hidup. Manusia dalam menghadapi persoalan hidupnya tidak terlepas dari jiwa manusia itu sendiri. Jiwa di sini meliputi pemikiran, pengetahuan, tanggapan, khalayak dan jiwa itu sendiri (Walgito, 1997:7).

Artikel Populer