Kritik Psikoanalitik terhadap The Tell-Tale Heart karya Edgar Allan Poe

 Kritik Psikoanalitik terhadap The Tell-Tale Heart karya Edgar Allan Poe



Kewarasan dan kegilaan adalah tema yang sangat jarang ditemukan dalam karya sastra. Namun, tidak demikian halnya dengan Tuan Poe, yang dikenal sebagai penulis Amerika terkenal di Era Romantisisme Sastra Amerika. Ia juga dianggap sebagai pelopor genre fiksi detektif dan sering diakui berkontribusi pada genre baru fiksi ilmiah. The Tell-Tale Heart yang pertama kali diterbitkan pada Januari 1843, adalah salah satu karya Poe yang masih banyak dibaca dan diterima sebagai salah satu karya sastra klasik Amerika. Ketenarannya berasal dari fakta bahwa itu adalah kisah kejahatan yang sangat mengganggu, sebuah kisah tentang kondisi psikologis seorang narator yang tidak disebutkan namanya dan bagaimana ia membunuh seorang pria tua karena 'mata jahatnya'.

Kritik psikoanalitik digunakan untuk menunjukkan kepada kritikus sastra kondisi mental pengarang dan karakternya. Dalam buku Critical Theory Today, Lois Tyson menggambarkan kritik psikoanalitik sebagai "Gagasan bahwa manusia dimotivasi bahkan didorong oleh keinginan, ketakutan, kebutuhan, dan konflik yang tidak mereka sadari – yaitu, alam bawah sadar." (Tyson, 12). Sebagian dari teori psikoanalitik yang dikembangkan Sigmund Freud berasal dari teori id, ego, dan superego. Tyson menggambarkan ketiganya, id bersifat irasional dan cenderung menginginkan kepuasan instan, superego bekerja secara langsung berlawanan dengan id karena menginternalisasi tabu budaya dan bekerja untuk menjaga id tetap terkendali, dan terakhir ego adalah "diri sadar yang mengalami dunia luar."

Dalam The Tell-Tale Heart karya Edgar Allan Poe, ketakutan narator terhadap mata lelaki tua itulah yang mendorongnya untuk membunuh lelaki tua itu. Mata adalah alasan pembunuhan, bukan lelaki tua itu sendiri. Narator memendam semua kenangan indah tentang lelaki tua itu dan berusaha membunuhnya hanya karena matanya. Id-nya bekerja sebagai bagian utama dari alam bawah sadarnya, ia ingin lelaki tua itu mati tanpa memikirkan konsekuensinya karena ia tidak berpikir jernih. Superego, bagian yang seharusnya menahan pikiran ini, tidak berfungsi sehingga protagonis langsung memanfaatkan ketakutannya dan memproyeksikannya kepada lelaki tua itu.


Hal yang membuat kritik psikoanalitik menantang adalah banyaknya cara teori tersebut dapat menafsirkan karya sastra yang dianalisis. Namun, teori ini juga memungkinkan pembaca melihat karya sastra secara berbeda dibandingkan pembaca yang hanya melihatnya dari sudut pandang hiburan semata. Pembaca pada umumnya tidak akan mengerti bagaimana karakter protagonis dalam cerita pendek Poe terdistorsi. Mungkin ada banyak hal di luar cerita yang perlu dipisahkan dari apa yang dikatakan tokoh tersebut. Tokoh tersebut akan dianggap antagonis meskipun ia sendiri yang menceritakannya. Yang membuat The Tell-Tale Heart karya Poe cocok untuk kritik psikoanalitik adalah tokoh tersebut berada di tengah-tengah gangguan psikologis dan teori tersebut dapat dengan mudah mengakses setiap detail kesalahan dalam alam bawah sadarnya, serta menggunakan perlakuannya terhadap lelaki tua tersebut untuk menunjukkan bahwa ia takut ditinggalkan oleh lelaki tua tersebut. Ketakutan ini menjadi obsesinya untuk menemukan kesalahan pada lelaki tua tersebut agar ia tidak merasa terlalu terhubung dengannya. Meskipun orang lain mungkin menafsirkan hal ini secara berbeda karena kritik yang diberikan dapat menyimpang ke arah yang berbeda.

Bagikan ke WhatsApp

No comments:

Post a Comment

Selamat datang di Blog Saya, silakan beri komentar Anda di artikel ini, berkomentarlah yang sopan dan sesuai isi artikel. Terima Kasih.

Artikel Populer