SUMBER HUKUM ISLAM – IJTIHAD

SUMBER HUKUM ISLAM – IJTIHAD


Kata jtihad berasal dari kata ijtahada - yajtahidu – ijtihadan yang artinya bersungguh-sungguh, rajin, giat, Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu rnasalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam AI-Qur’an maupun hadis, dengan menggunakan akal pikiran ‘yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukum yang telah ditentukan.

Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga. Orang yang melakukan ijtîhad disebut rnujtahid.

Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi beberapa syarat berikut ini :
Syarat umum mujtahid:
a. Baligh
b. Berakal sehat
c. Memahami masalah.
d. Beriman.

Syarat-syarat khusus seorang .mujtahid ialah sebagai berikut :
  • Mengetahui isi A1-Qur’an dan hadis, terutama yang bersangkutan dengan hukum.
  • Mernahami bahasa Arab dengan segala keelngkapannya (nahwu, sharaf, balagah dan sebagainya) untuk menafsirkan AI-Qur’an dan hadis.
  • Mengetahui soal-soal ijma’, sehingga hukum yang ditetapkan tidak bertentangán dengan ijma’.
  • Menguasai ilmu ushul fikih dan kaidah-kaidah fikih yang luas.
  • Mengetahui ilmu mantiq. .
  • Mengetahui penetapan hukum asal berdasarkan bara’ah asiiah (semacam praduga tak bersalah, praduga mubah, dan sebagainya).
Syarat-syarat pelengkap:
  • Mengetahui bahwa tidak ada dalil qath’iy yang berkaitan dengan masalah yang akan ditetapkan hukumnya.
  • Mengetahui masalah-masalah yang diperseiisihkan oleh para ulama dan yang akan mereka sepakati.
  • Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlak.
Dasar yang menunjukkan kebolehan menetapkan hokum berdasarkan ijtihad ini, antar lain adaiah dialog Nabi Muhammad saw. dengan Mu’adz bin Jabal pada waktu dia diutus untuk menjadi dai di Yaman, sebagai berikut.
Artinya:
“(Nabi Muhammad SAW bertanya): Bagaimana engkau menetapkan hukum bila dihadapkan kepadamu suatu perkara yang memerlukan penetapan hukum?
Mu’adz menjawab Aku putuskan dengan Kitabullah (Al-Qur’an).
Lalu Nabí bertanya: Seandainya (di dalam Al-Qur’an) tidak ada Mu’adz menjawab: Aku putuskan dengan Sunnah Rasul-Nya.
Setanjutnya nabí bertanya: Seandainya (di dalam Sunnah) tidak ada?
Mu’adz menjawab Aku putuskan berdasarkan pendapat sendiri (ijtihad).
(memperllhatkan jawaban seperti itu) Nabí menepuk t4u’adz seraya bersabda.’ Segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan utusan seorang Rasul dengan sesuatu yang Rasul kehendaki.

Masalah yang boleh dilakukan ijtihad adalah masalah yang tidak ada dalilnya secara pasti balk di dalam Al-Qur’an atau hadis, Masalah yang sudah jelas hukumnya seperti salat, puasa, zakat, dan haji, tidak bolch dilakukan ijtihad lagi.

Masalah seperti bayi tabung, KB, merokok, jual beli saham dan masalah yang berkembang di masa sekarang adalah masalah yang boleh dilakukan ijtihad.

Dalam berjtihad seseorang dapat rnenempuhnya dengan cara ijma’, qiyas, dan maslahah mursalah.

Ijma’ adalah kesepakatan dan seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu masa dan beberapa masa setelah wafatnya Rasulullah saw.. Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan bahkan menjadi keharusan.

Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya.

Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir dan wiski.

Haramnya minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al-Qur’an karena antara keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu šama-sama memabukkan.
Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an atau hadis tetap diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al-Qur’an.

Maslahah mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan maksud syara’ yang tidak diperoleh dari pengajaran dalil secara langsung dan jetas dan maslahah itu.

Contohnya, mengharuskán seorang tukang mengganti atau membayar kerugian pada pemilik barang, karena kerusakan di luar kesepakatan yang telah ditetapkan.

Kedudukan dan Fungsi Ijtihad
  • Sebagal sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan hadis.
  • Sebagai sarana untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang muncul dengan tetap berpegang pada Al-Qur’an dan hadis.
  • Sebagai suatu cara yang disyari’atkan untuk menyesuaikan perubahan sosial dengan ajaran-ajaran Islam.
  • Sebagai wadah pencurahan pemikiran kaum muslim dalam mencari jawaban dari masalah asasi seperti akidah dan muamalah, masalah esensial seperti program pembangunan masalah insidental misalnya isu yang berkembang datam masyarakat dan lainnya.
Pembagian Hukum dafarn Islam ada lirna yaitu:
  • Wajib, yaitu perintah yang harus dikerjakan Jika perintah tersebut dipatuhi (dikerjakan) maka yang mengerjakannya akan mendapat pahala,jika tidak dikerjakan maka ia akan berdosa.
  • Sunah, yaitu anjuran jika dikerjakan dapat pahala, jika tidak dikerjakan tidak berdosa.
  • Haram, yaitu larangan keras. Jika dikerjakan berdosa jika tidak dikerjakan atau dftinggalkan mendapat pahala,
  • Makruh, yaitu larangan yang tidak keras. Kalau dilanggar tidak dihukum (tidak berdosa), dan jika ditinggalkan diberi pahala.
  • Mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan Kalau dikerjakan tidak berdosa, begitu juga kalau ditinggalkan.
Bagikan ke WhatsApp

No comments:

Post a Comment

Selamat datang di Blog Saya, silakan beri komentar Anda di artikel ini, berkomentarlah yang sopan dan sesuai isi artikel. Terima Kasih.

Artikel Populer