PERJANJIAN PRANIKAH MENGENAI PEMBAGIAN PENGHASILAN

Apakah sebenarnya perjanjian pranikah atau perjanjian perkawinan itu ? Seperti kita ketahui perjanjian perkawinan dibuat untuk memisahkan harta pribadi antara suami dan istri, serta mendaftar mana yang merupakan harta suami dan yang mana merupakan harta istri yang dibawa masuk ke dalam perkawinan.
Aturan perihal perjanjian perkawinan dapat dilihat pada Bab VII Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KIJH-Perdata), yang beberapa ketentuannya sudah dinyatakan tidak berlaku lagi dengan berlakunya ketentuan Pasal 35,36, dan 37 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur perihal harta bersama.

Hakikatnya, dengan melangsungkan perkawinan antara suami dan istri terjadi percampuran kekayaan secara bulat. Percampuran kekayaan secara bulat di sini artïnya, seluruh harta dari suami dan istri yang telah ada sebelum perkawinan, dan yang ada pada saat perkawinan, maupun yang akan ada setelah perkawinan menjadi satu sebagai harta bersama. Demikian pula dengan seluruh kerugian (hutang) dari suami dan istri yang telah ada sebelum perkawinan, dan yang ada pada saat perkawinan, maupun yang akan ada setelah perkawinan dilangsungkan menjadi hutang bersama.

Dengan demikian, melalui perkawinan, kekayaan, harta dan hutang yang dibawa oleh suami dan istri ke dalam perkawinan harus dinikmati dan ditanggung bersama sepanjang perkawinan, seperti halnya harta dan hutang yang diperoleh selama dalam perkawinan. Persatuan kekayaan yang sedemikian itu oleh hukum diberi pengecualian untuk disimpangi melalui pembuatan perjanjian perkawinan yang menurut ketentuan KUH-Perdata harus:
a. dibuat sebelum perkawinan berlangsung
b. berbentuk akta notaris
c. tidak bertentangan dengan tata-susila
d. tidak bertentangan dengan tata tertib umum
e. tidak bertentangan dengan ketentuan hukum
f. dibukukan di kepaniteraan Pengadilan Negeri, tempat perkawinan dilangsungkan, apabila perjanjian perkawinanita hendak berlaku juga bagi pihak ketiga.

Lalu penyimpangan penyimpangan seperti apa yang diperbolehkan
hukum terhadap persatuan kekayaan? Dalam KUH-Perdata terdapat beberapa bentuk perjanjian penyimpangan terhadap persatuan kekayaan, yakni:

PERJANJIAN PEMBATASAN PERSATUAN KEKAYAAN
Perjanjian ini bisa memuat:
a) pemisahan harta pribadi yang diperoleh sebelum perkawinan (harta bawaan)dari persatuan kekayaan, atau
b) pembatasan harta pribadi apasaja yang dimasukkan dalam persatuan kekayaan.

PERJANJIAN PERSATUAN UNTUNG DAN RUGI
Pada perjanjian ini tidak ada persatuan kekayaan pribadi(harta dan hutang) antara suami dan istri yang dibawa masuk ke dalam perkawinan. Kekayaan yang dipersatukan semata-mata hanyalah keuntungan dan kerugian yang diperoleh dari pengelolaan harta pribadi dan usaha/kerja masing-masing selama dalam perkawinan. Dalam perjanjian ini segala kerugian yang timbul dari pengelolaan harta pribadi tersebut selama dalam perkawinan dapat dibebankan pada persatuan harta kekayaan yang diperoleh selama dalam perkawinan.

PERJANJIAN PERSATUAN HASIL DAN
PENDAPATAN

Dalam KUH-Perdata tidak terdapat penjelasan yang
konkret apa yang dimaksud perjanjian persatuan hasil dan pendapatan selain perjanjian tersebut meniadakan persatuan harta kekayaan dan juga meniadakan persatuan untung dan rugi. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik simpulan bahwa dalam perjanjian persatuan hasil dan pendapatan yang dipersatukan sebagai kekayaan bersama semata-mata hanyalah hasil dari pengelolaan harta pribadi masing-masing suami istri dan pendapatan-pendapatan yang diperoleh masing masing suami istri selama dalam perkawinan.
Segala kerugian dalam perjanjian ini tidaklah dipersatukan, yang artinya segala kerugian yang timbul dan pengelolaan harta pribadi menjadi tanggungan masing-masing suami istri dan tidak dapat dibebankan dalam harta persatuan.

PERJANIAN KETIADAAN PERSATUAN KEKAYAAN
Perjanjian ini artinya sangatlah jelas, yakni tidak ada persatuan kekayaan antara suami dan istri baik secara bulat, terbatas, maupun dalam bentuk untung dan rugi ataupun hasil dan pendapatan.
Terhadap penjanjian perkawinan demikian ini, dapat ditentukan tiap-tiap tahun suatu jumlah tertentu dan harta kekayaan pihak istri dapat diambil untuk dimasukkan untuk membiayai rumah tangga dan pendidikan anak anak (P. 145) dan dalam hal ketentuan tersebut tidak diatur dalam perjanjian maka segala hasil dan pendapatan dari harta kekayaan si istri adalah tersedla bagi si suami (R 146), yakni dapat dipergunakan oleh si suami.

Bagikan ke WhatsApp

No comments:

Post a Comment

Selamat datang di Blog Saya, silakan beri komentar Anda di artikel ini, berkomentarlah yang sopan dan sesuai isi artikel. Terima Kasih.

Artikel Populer