HARI KEMENANGAN
Huh! Kuhempaskan tubuhku di sofa ruang tamu rumah dinas yang baru kutempati sepekan ini. Kurasakan penat yang menjalar di seluruh tubuh setelah seharian berada di kantor. Kupandangi sekeliling langit-langit rumah yang tampaknya baru dicat putih bersih itu.
Aku mencoba memejamkan mata untuk menenangkan hati yang galau dilanda emosi karena dendam. “Huh... huh... huh...” Berkali-kali kuhembuskan nafas panjang untuk melepas rasa sesak. Namun, udara sejuk Kota Bandung tak juga membuat hati menjadi sejuk. Kupejamkan mata, tapi pikiranku melayang ke masa-masa lalu.
Baru sepekan ini aku dipindahkan ke Bandung, karena Kantor Pusat perusahaan tempatku bekerja memberi tugas memimpin cabang di kota ini. Kota yang banyak menyimpan kenangan indah, sekaligus kota yang sebenarnya tak ingin kuinjak lagi. Di kota inilah satu kata yang bernama “cinta” ingin aku lupakan selamanya.
“Masih bujangan, lho, boleh juga nih.” Bisik-bisik karyawati pada acara perkenalan han pertama kedatanganku di kantor. Sebagai pimpinan yang baru, seperti biasanya perusahaan mengadakan acara perkenalan dengan karyawan dan karyawati. Satudemi satu mereka bergilir bersalaman memperkenalkan namanya masing masing.
Dengan tersenyum, kusambut salam mereka satu persatu sampai satu suara yang telah lama menghiasi mimpi burukku mengagetkan kesadaranku.
“Herry...” Suara itu bergetar pelan, sedangkan si pemilik nama menundukkan mukanya, telapak tangannya dingin. Saat itu, untuk beberapa detik, aku sempat gamang menahan emosi yang seakan ingin meledak-ledak. Namun, sisi hati yang lain mengingatkan agar aku tidak mengotori ibadah puasa yang aku laksanakan pada bulan suci ini. Di samping suasana saat itu masih banyak karyawan-karyawati yang belum mendapatkan kesempatan bersalaman. Dengan dingin akhirnya kujabat juga tangannya.
“Astaghfirullah al adzim.” Ucapku dalam hati berkali-kali sambil bersa laman dengan karyawan-karyawati yang lainnya. Peristiwa beberapa belas tahun yang lalu kembali menorehkan luka lama di hatiku.
Sebagai prajunit ABRI dengan pangkat Bintara, ayah selalu berpindah pindah tempat tugas, dan satu daerah ke daerah lainnya di Indonesia. Aku masih duduk di kelas satu SMA, ketika ayah dipindahtugaskan dari Bandung ke Yogyakarta. Dengan pertimbangan kalau pindah sekolah memerlukan biaya cukup besar, akhirnya hanya ibu dan kedua adikku yang masih kecil-kecil yang mendampingi ayah bertugas.
Sedangkan aku dititipkan di rumah paman, sambil sesekali membantu paman menjadi kenek angkutan kota (angkot) yang dikemudikannya. Setahun bertugas di Yogyakarta, ayah yang menjadi tumpuan hidup kami gugur ketika melaksanakan tugas mengamankan Daerah Istimewa tersebut.
Sejak saat itu, ibu yang hidup dan pensiunan ayah sebagai anggota ABRI berusaha memenuhi kebutuhan sekolah kami dengan ber jualan nasi bungkus. Pada saat-saat seperti itulah, Ina, temanku satu sekolah yang akhirnya menjadi orang yang sangat kukasihi, mengisi kehidupanku, memacu semangatku agar meneruskan sekolah sampai selesai.
“Ib, kalau kamu memang benar benar sayang sama saya dan kelak ingin membahagiakan saya, jangan sampai kamu teruskan niat kamu ke luar dari sekolah. Sayang Ib, kamu sangat pandai dan guru-guru sangat menyukaimu.” Bujuk Ina ketika aku mengutarakan ingin keluar dan sekolah agar dapat meringankan beban ibu dan membantu beliau di Yogya.
Setahun kemudjan aku lulus dan SMA dan diterima di sebuah perguruan tinggi terkenal di Kota Yogya. Saat itu, kendati dengan berat hati, aku harus rela berpisah dengan Ina, wanita yang kukasihi.
Namun di satu sisi terbersit rasa suka cita yang dalam, karena setelah berpisah cukup lama dapat berkumpul lagi dengan ibu dan adik-adik. Sedangkan Ina, mengingat ibunya sudah cukup tua dan sering sakit-sakitan karena penyakit jantung yang dideritanya, memilih tetap tinggal di Bandung sambil mengikuti kursus-kursus keterampilan.
Tahun pertama hubunganku dengan Ina masih lancar-lancar saja, Walaupun dalam setahun itu hanya beberapa kali aku mengunjunginya. Komunikasi lebih banyak kami lakukan dengan surat. Memasuki tahun kedua mulai timbul permasalahan, karena surat-sunat yang kukirim untuknya semakin jarang dibalas dan akhirnya tak pernah dibalas sama sekali.
Pada waktu itu, karena disibukkan dengan urusan kuliah, aku tak begitu peduli. Namun setelah surat-surat yang kukirim berbulan-bulan tidak dibalas, timbul berbagai pertanyaan dalam diriku. Memasuki liburan semesteran, aku pun berliburan ke Bandung untuk melepaskan kangenku pada Ina.
“Tok... tok... tok...” Suara pintu rumah Ina yang kuketuk siang itu. “Assalamualaikum!” Teriakku setelah beberapa menit pintu yang kuketuk belum juga dibuka.
Jam yang kukenakan menunjukan pukul sebelas. “Wa’alaikumsalam,” jawab sebuah suara dari dalam. Hatiku tergetar dan berbunga bunga mendengar suara yang telah lama aku rindukan. “Aku ingin memeluk pemilik suara itu!” jeritku dalam hati. Ina terpana setelah pintu itu dibukanya. “Apa kabar In?” tanyaku sambil ingin memeluknya.
“Ib. maaf.” Tangannya yang mungil menolak tubuhku. Gantian sekarang aku yang tersentak kaget. “Ke... ke... napa In?!” Tanyaku heran, nafasku memburu antara heran dan kaget. Ina terdiam menundukan kepalanya. Tak lama kemudian kudengar isak kecil keluar dan mulutnya.
Akupun terdiam tidak tahu apa yang harus dilakukan. “Ib, maafkan aku, tolong temui aku nanti malam jam tujuh di King Café. Kita ketemu di sana, ya?” Katanya berharap setelah beberapa saat dapat menenangkan dirinya.
“Tapi, kenapa In?” tanyaku masih tidak mengerti. “Aku mohon Ib, pulanglah dulu. Nanti malam saja kita ketemu, nanti akan kujelaskan,” katanya perlahan dan benjalan mundur menjauhiku sambil terisak.
Lalu tanpa menunggu jawabanku, ia berlari ke dalam. Masih sempat kudengar isaknya yang berubah menjadi tangisan. Kututup pintu numah itu, dengan langkah gontai dan perasaan yang tidak menentu aku berjalan pulang ke rumah paman yang cukup jauh. Rasanya tanda tanya di kepala yang aku bawa sejak dan Yogya tenlihat semakin membesar.
King Café masih terasa lengang ketika kupilih meja, di mana kami biasa bercengkrama sambil menunggu pintu Palaguna Cinepleks dibuka untuk menyaksikan film pilihan kami. Setelah memesan secangkir kopi untukku dan jus buah kesukaan Ina, sambil menunggu kedatangannya, aku melamun mengingat masa-masa indah kami saat di SMA. Kebaikan kebaikannya sewaktu aku mengalami masa-masa sulit setelah ayah meninggal, senyum manisnya kalau kugoda dengan cerita-cerita yang lucu.
“Maaf aku agak terlambat Ib,” suara yang sangat kukenal itu menyadarkanku dan lamunan. “Nggak apa-apa, silakan duduk In,” jawabku agak formal. Kami sama-sama terdiam, tidak tahu harus memulai dari mana. Ina hanya tertunduk.
“Kenapa In?” tanyaku pelan setelah minuman yang kami pesan datang. “Ib, maafkan aku, semuanya memang salahku. Jadi kalau kamu ingin marah, marahilah aku. Kalau kamu ingin memaki, maki-makjlah aku, semuanya memang salahku. Tapi aku mohon setelah pertemuan kita ini, jangan temui aku lagi, ya, Ib...” Katanya setelah berkali-kali menarik nafas panjang.
“Tapi, kenapa In?” kucoba berusaha untuk tenang walaupun sebenarnya aku kaget dan agak tersinggung mendengar permintaan dan perkataannya. “Coba kamu ceritakan dulu, kok Ina yang kukenal sekarang berbeda sih?” kataku selanjutnya mencoba memulai canda untuk mencairkan suasana yang terasa kaku. “Aku sudah menikah, Ib,” katanya singkat.
Aku terhenyak kaget, seolah beribu ribu palu godam menghantam kepalaku. “Kenapa kamu tega berbuat begitu In?” tanyaku lirih setelah suasana hening menyelimuti kami. Aku mencoba bersikap tenang, walaupun sebenarnya hawa marah meluap-luap di hatiku.
“Kamu ingat Herry kan? Selama ibu sakit, dia sering membantu kami, baik biaya perawatan di rumah sakit dan keperluan apa saja di rumah. Dia begitu baik dengan keluargaku. Kamu kan tahu kalau dia ada hati padaku,” kata Ina memberikan penjelasan.
Aku terdiam mengingat sewaktu beberapa kali ngapel ke rumah Ina di malam Minggu bertemu dengan mahluk yang bernama Herry. Orangnya cukup sopan dan dewasa dibanding kan kami yang waktu itu masih SMA.
Dan selama di sana, dia hanya berkumpul atau mengobrol dengan orangtua Ina, kakak, dan adik-adiknya. Tak pernah sekalipun dia mencoba mengusik hubunganku dengan Ina, walapun dari Ina aku mendapatkan informasi kalau sebenarnya Herry tertarik kepadanya. “Keluargaku mendesak agar aku rnenikah dengan dia.
Aku sudah berusaha menolak Ib, aku sudah bilang sama mereka kalau aku akan tetap menunggu kamu. Bahkan sampai aku pernah kabur dari rumah ke tempat nenek di Sumedang. Mereka bilang apa yang diharapkan dari kamu, mahasiswa yang belum jelas masa depannya. Mereka selalu membandingkan kamu dengan apa-apa yang telah diperbuat Herry kepada keluargaku.” Ina terdiam sejenak, menarik nafas panjang untuk menenangkan perasaannya.
“Tapi sewaktu penyakit jantung ibu kambuh lagi dan di rumah sakit dengan terbata-bata ibu meminta agar aku menerima lamaran Herry, aku tidak berdaya Ib. Aku tidak tega, aku takut ibu meninggal karena aku.” Ina terdiam sejenak. “Aku hanya ingin berbakti pada orangtuaku Ib,” lanjutnya lirih.
Aku hanya terdiam mendengar cerita Ina, tidak tahu harus berbuat dan berkata apa. Perasaanku teriris-iris mendengar penuturannya. “Aku memang miskin! Masa depanku memang belum jelas! Tapi aku punya harga diri!” jeritku dalam hati. Malam itu adalah malam terakhir aku bertemu Ina, karena malam itu juga dengan rasa amarah yang amat sangat aku kembali ke Yogyakarta. Aku dendam pada Herry dan sangat benci pada Ina dan keluarganya. Sejak itu aku merasa dingin terhadap wanita.
Baca Juga : Maafkan Aku, Sarah
“Apa yang diharapkan dan kamu, mahasiswa yang belum jelas masa depannya.” Kata-kata itu selalu menghantuiku, membuat aku merasa kecil namun sekaligus selalu membuat aku terpacu menyelesaikan kuliahku dan memotivasiku menjadi “orang yang berarti” di kemudian hari.
Akhirnya, aku mampu menyelesaikan kuliah dengan predikat sangat memuaskan. Karena prestasi itu, aku mendapatkan bantuan beasiswa dan perusahaan, di mana aku bekerja sekarang, untuk meneruskan S-2 di luar negeri. Setelah selesai aku langsung diterima bekerja di perusahaan itu.
“Ibnu, sudah adzan magrib tuh nak, kita buka dulu ya.” suara lembut ibu menyadarkan aku dari lamunan pada masa lalu. “Iya, bu,” jawabku singkat. Sayup sayup kudengar adzan magrib tanda berbuka puasa telah tiba.
Tak terasa hampir satu bulan sudah aku bertugas di pos yang baru ini. Selama itu pula tubuhku terasa lelah akibat pergolakan batin yang terjadi pada diriku, antara memuaskan nafsu balas dendam pada makhluk yang bernama Herry dan sikap profesionalku sebagai pimpinan.
Dan catatan prestasi perusahaan dapat kuketahui “musuh besar” dalam kehidupan pribadiku yang bernama Herry ini adalah juga tenaga marketing yang sangat andal bagi perusahaan. Akibatnya, setiap bertemu di kantor, kami sama-sama menjaga jarak.
Sore itu, adik-adik telah keluar rumah dengan acaranya masing masing. Di rumah tinggal aku dan ibu. Kalau sudah begitu sering kurasakan kesunyian yang mendalam. Memang sejak aku “dipaksa” berpisah dengan Ina oleh keluarganya, aku telah bertekad jangan sampai adik-adik mengalami hal yang sama.
Aku telah bertekad keluargaku harus dapat dihargai oleh orang lain!
Gema takbir berkumandang dimana-mana menandakan malam itu adalah malam takbiran dan besok pagi kami akan merayakan Han Raya Idul Fitri 1419 H. Dari taman yang terletak di belakang rumah kutatap rembulan yang mengintip dan balik awan.
Kunikmati salah satu bukti kebesaran Illahi menemani kesunyian yang aku rasakan.
“Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar walilla ilham.” Bibirku bergetar mengikuti takbir yang berkumandang dan masjid di dekat rumah. “Ibnu...” Sebuah suara lembut mengejutkanku, suara yang telah lama tak kudengar namun masih mampu membenikan getar kecil di hatiku. “Maaf Ib, ketika aku datang Ibu sedang menonton TV.
Setelah kami mengobrol, beliau menyuruhku menemui kamu di smi.” Lanjut Ina menjelaskan setelah melihat keterkejutanku. “Apa kabar In?” tanyaku sambil kujabat tangannya. Getar-getar yang dulu pernah kurasakan masih tersisa, namun cepat-cepat kubunuh perasaan itu.
Setelah berbasa-basi sebentar, kemudian Ina menceritakan maksud kedatangannya. Herry, suaminya, telah sepekan ini bersikap aneh, marah marah tanpa sebab dan segan-seganan berangkat bekerja.
Setelah didesak, Ina baru tahu kalau aku menjadi pimpinannya yang baru, sehingga Herry khawatir kalau-kalau aku akan mempergunakan wewenang yang kumiliki untuk menjatuhkannya.
“Ib, mungkin aku terlalu naïf memberanikan din datang ke sini tanpa sepengetahuan Kang Herry. Tapi aku harus menyelamatkan rurnah tanggaku dan mengembalikan kepercayaan dirinya Ib.” Jelas Ina mengakhiri ceritanya.
“Ina aku heran kenapa dulu kamu bisa mengkhianati aku?!” Tanyaku tanpa mempedulikan ceritanya, ada nada marah dalam suaraku yang tak mampu kubendung lagi, egoku keluar tanpa kusadarj. “Lihat akibat perbuatan yang telah kalian lakukan dulu, sampai sekarang aku masih sendin, sampai-sampai rumah ini terasa sunyi.” Kata-kataku meluncur tak dapat kutahan. Ina menunduk terdiam, air matanya hampir mengalir.
“Aku memang salah.” Isaknya tendengar berbisik. Tiba-tiba, pintu belakang terbuka dan seorang bocah lelaki berusia sekitar tiga tahunan langsung berlari ke pangkuan Ina. “Mama, Mama kenapa?” Anak itu menatap Ina. “Oom nakal, ya?” katanya lagi sambil menoleh dan menatapku dengan tajam. “Yakim sini sama nenek,” panggil ibuku dan pintu.
“Biar bu, Ina mau kenalkan Yakim sama Oomnya,” jawab Ina cepat. “Iya deh, nanti main lagi sama nenek, ya, sayang,” kata ibu ditujukan pada si bocah. “Ibnu ingat pesan ibu, ya,” kata ibu lagi padaku. Ibu selalu menasehatiku agar tidak perlu sakit hati pada Ina dan keluarganya, karena Ia Yang Maha Mengetahui telah menggariskan jalan kehidupanku seperti ini, karena di balik semua itulah kesuksesan yang kunikmati sekarang ini berada.
Anak itu masih dalam pangkuannya dan menatapku dengan tajam ketika Ina baru menyadari air matanya hampir turun. “Tidak apa-apa sayang. Eh, sana salim dulu sama Oom Ibnu,” ujar Ina sambil dengan cepat menghapus air mata yang hampir mengalir di pipinya.
Hatiku bergetar melihat bocah kecil itu. Kutatap matanya yang polos tanpa dosa, perasaan sayang langsung timbul melihat wajahnya yang mungil. Kuraih ia dari pangkuan Ina, aku peluk tubuh kecil itu, kurasakan rasa sayang yang mendalam di diriku. Aku telah lupa pada rasa marahku.
“In, sebenarnya sudah lama aku telah memaafkan kamu, keluargamu, dan Herry. Pulanglah, mungkin suamimu telah menunggu kamu. Besok ajak suamimu bersilaturahmi menemui ibuku, karena kebetulan aku memang mengundang karyawan dan karyawati beserta keluarganya berkumpul merayakan Hari Raya Idul Fitri di sini besok sore.
Nanti akan kuselesaikan masalahnya,” kataku setelah puas bercengkerama dengan Yakim. Setelah Ina pulang masih terngiang-ngiang kata-kata Ina: “Ib, sampai kapan pun kamu tetap menjadi bagian yang istimewa dalam perjalanan hidupku. Namun sudah kehendakNya kita tidak saling memiliki, cukup hanya nama belakangmu yang kumiliki untuk anakku agar dia selalu menjadi orang yang bijak seperti kamu.
Di benakku telah tersimpan rencana untuk besok, akan kukenalkan Heni, tunanganku, pada mereka. Akan kujelaskan pada Herry bahwa masa lalu telah aku kubur dalam dalam. Akan aku ajak Heni meraih masa depan dengan memacu prestasi yang lebih baik lagi.
“Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar walillahilham.” Bibirku bergetar mengikuti takbir yang berkumandang. “Ya, Allah, telah kau beri lagi sebuah kemenangan pada diriku pada hari ini. Sebuah kemenangan besar untuk mengalahkan musuhku yang terbesar, yaitu diriku sendiri!” jeritku bersyukur di hati.
Bagikan ke WhatsApp
Aku mencoba memejamkan mata untuk menenangkan hati yang galau dilanda emosi karena dendam. “Huh... huh... huh...” Berkali-kali kuhembuskan nafas panjang untuk melepas rasa sesak. Namun, udara sejuk Kota Bandung tak juga membuat hati menjadi sejuk. Kupejamkan mata, tapi pikiranku melayang ke masa-masa lalu.
Baru sepekan ini aku dipindahkan ke Bandung, karena Kantor Pusat perusahaan tempatku bekerja memberi tugas memimpin cabang di kota ini. Kota yang banyak menyimpan kenangan indah, sekaligus kota yang sebenarnya tak ingin kuinjak lagi. Di kota inilah satu kata yang bernama “cinta” ingin aku lupakan selamanya.
“Masih bujangan, lho, boleh juga nih.” Bisik-bisik karyawati pada acara perkenalan han pertama kedatanganku di kantor. Sebagai pimpinan yang baru, seperti biasanya perusahaan mengadakan acara perkenalan dengan karyawan dan karyawati. Satudemi satu mereka bergilir bersalaman memperkenalkan namanya masing masing.
Dengan tersenyum, kusambut salam mereka satu persatu sampai satu suara yang telah lama menghiasi mimpi burukku mengagetkan kesadaranku.
“Herry...” Suara itu bergetar pelan, sedangkan si pemilik nama menundukkan mukanya, telapak tangannya dingin. Saat itu, untuk beberapa detik, aku sempat gamang menahan emosi yang seakan ingin meledak-ledak. Namun, sisi hati yang lain mengingatkan agar aku tidak mengotori ibadah puasa yang aku laksanakan pada bulan suci ini. Di samping suasana saat itu masih banyak karyawan-karyawati yang belum mendapatkan kesempatan bersalaman. Dengan dingin akhirnya kujabat juga tangannya.
“Astaghfirullah al adzim.” Ucapku dalam hati berkali-kali sambil bersa laman dengan karyawan-karyawati yang lainnya. Peristiwa beberapa belas tahun yang lalu kembali menorehkan luka lama di hatiku.
Sebagai prajunit ABRI dengan pangkat Bintara, ayah selalu berpindah pindah tempat tugas, dan satu daerah ke daerah lainnya di Indonesia. Aku masih duduk di kelas satu SMA, ketika ayah dipindahtugaskan dari Bandung ke Yogyakarta. Dengan pertimbangan kalau pindah sekolah memerlukan biaya cukup besar, akhirnya hanya ibu dan kedua adikku yang masih kecil-kecil yang mendampingi ayah bertugas.
Sedangkan aku dititipkan di rumah paman, sambil sesekali membantu paman menjadi kenek angkutan kota (angkot) yang dikemudikannya. Setahun bertugas di Yogyakarta, ayah yang menjadi tumpuan hidup kami gugur ketika melaksanakan tugas mengamankan Daerah Istimewa tersebut.
Sejak saat itu, ibu yang hidup dan pensiunan ayah sebagai anggota ABRI berusaha memenuhi kebutuhan sekolah kami dengan ber jualan nasi bungkus. Pada saat-saat seperti itulah, Ina, temanku satu sekolah yang akhirnya menjadi orang yang sangat kukasihi, mengisi kehidupanku, memacu semangatku agar meneruskan sekolah sampai selesai.
“Ib, kalau kamu memang benar benar sayang sama saya dan kelak ingin membahagiakan saya, jangan sampai kamu teruskan niat kamu ke luar dari sekolah. Sayang Ib, kamu sangat pandai dan guru-guru sangat menyukaimu.” Bujuk Ina ketika aku mengutarakan ingin keluar dan sekolah agar dapat meringankan beban ibu dan membantu beliau di Yogya.
Setahun kemudjan aku lulus dan SMA dan diterima di sebuah perguruan tinggi terkenal di Kota Yogya. Saat itu, kendati dengan berat hati, aku harus rela berpisah dengan Ina, wanita yang kukasihi.
Namun di satu sisi terbersit rasa suka cita yang dalam, karena setelah berpisah cukup lama dapat berkumpul lagi dengan ibu dan adik-adik. Sedangkan Ina, mengingat ibunya sudah cukup tua dan sering sakit-sakitan karena penyakit jantung yang dideritanya, memilih tetap tinggal di Bandung sambil mengikuti kursus-kursus keterampilan.
Tahun pertama hubunganku dengan Ina masih lancar-lancar saja, Walaupun dalam setahun itu hanya beberapa kali aku mengunjunginya. Komunikasi lebih banyak kami lakukan dengan surat. Memasuki tahun kedua mulai timbul permasalahan, karena surat-sunat yang kukirim untuknya semakin jarang dibalas dan akhirnya tak pernah dibalas sama sekali.
Pada waktu itu, karena disibukkan dengan urusan kuliah, aku tak begitu peduli. Namun setelah surat-surat yang kukirim berbulan-bulan tidak dibalas, timbul berbagai pertanyaan dalam diriku. Memasuki liburan semesteran, aku pun berliburan ke Bandung untuk melepaskan kangenku pada Ina.
“Tok... tok... tok...” Suara pintu rumah Ina yang kuketuk siang itu. “Assalamualaikum!” Teriakku setelah beberapa menit pintu yang kuketuk belum juga dibuka.
Jam yang kukenakan menunjukan pukul sebelas. “Wa’alaikumsalam,” jawab sebuah suara dari dalam. Hatiku tergetar dan berbunga bunga mendengar suara yang telah lama aku rindukan. “Aku ingin memeluk pemilik suara itu!” jeritku dalam hati. Ina terpana setelah pintu itu dibukanya. “Apa kabar In?” tanyaku sambil ingin memeluknya.
“Ib. maaf.” Tangannya yang mungil menolak tubuhku. Gantian sekarang aku yang tersentak kaget. “Ke... ke... napa In?!” Tanyaku heran, nafasku memburu antara heran dan kaget. Ina terdiam menundukan kepalanya. Tak lama kemudian kudengar isak kecil keluar dan mulutnya.
Akupun terdiam tidak tahu apa yang harus dilakukan. “Ib, maafkan aku, tolong temui aku nanti malam jam tujuh di King Café. Kita ketemu di sana, ya?” Katanya berharap setelah beberapa saat dapat menenangkan dirinya.
“Tapi, kenapa In?” tanyaku masih tidak mengerti. “Aku mohon Ib, pulanglah dulu. Nanti malam saja kita ketemu, nanti akan kujelaskan,” katanya perlahan dan benjalan mundur menjauhiku sambil terisak.
Lalu tanpa menunggu jawabanku, ia berlari ke dalam. Masih sempat kudengar isaknya yang berubah menjadi tangisan. Kututup pintu numah itu, dengan langkah gontai dan perasaan yang tidak menentu aku berjalan pulang ke rumah paman yang cukup jauh. Rasanya tanda tanya di kepala yang aku bawa sejak dan Yogya tenlihat semakin membesar.
King Café masih terasa lengang ketika kupilih meja, di mana kami biasa bercengkrama sambil menunggu pintu Palaguna Cinepleks dibuka untuk menyaksikan film pilihan kami. Setelah memesan secangkir kopi untukku dan jus buah kesukaan Ina, sambil menunggu kedatangannya, aku melamun mengingat masa-masa indah kami saat di SMA. Kebaikan kebaikannya sewaktu aku mengalami masa-masa sulit setelah ayah meninggal, senyum manisnya kalau kugoda dengan cerita-cerita yang lucu.
“Maaf aku agak terlambat Ib,” suara yang sangat kukenal itu menyadarkanku dan lamunan. “Nggak apa-apa, silakan duduk In,” jawabku agak formal. Kami sama-sama terdiam, tidak tahu harus memulai dari mana. Ina hanya tertunduk.
“Kenapa In?” tanyaku pelan setelah minuman yang kami pesan datang. “Ib, maafkan aku, semuanya memang salahku. Jadi kalau kamu ingin marah, marahilah aku. Kalau kamu ingin memaki, maki-makjlah aku, semuanya memang salahku. Tapi aku mohon setelah pertemuan kita ini, jangan temui aku lagi, ya, Ib...” Katanya setelah berkali-kali menarik nafas panjang.
“Tapi, kenapa In?” kucoba berusaha untuk tenang walaupun sebenarnya aku kaget dan agak tersinggung mendengar permintaan dan perkataannya. “Coba kamu ceritakan dulu, kok Ina yang kukenal sekarang berbeda sih?” kataku selanjutnya mencoba memulai canda untuk mencairkan suasana yang terasa kaku. “Aku sudah menikah, Ib,” katanya singkat.
Aku terhenyak kaget, seolah beribu ribu palu godam menghantam kepalaku. “Kenapa kamu tega berbuat begitu In?” tanyaku lirih setelah suasana hening menyelimuti kami. Aku mencoba bersikap tenang, walaupun sebenarnya hawa marah meluap-luap di hatiku.
“Kamu ingat Herry kan? Selama ibu sakit, dia sering membantu kami, baik biaya perawatan di rumah sakit dan keperluan apa saja di rumah. Dia begitu baik dengan keluargaku. Kamu kan tahu kalau dia ada hati padaku,” kata Ina memberikan penjelasan.
Aku terdiam mengingat sewaktu beberapa kali ngapel ke rumah Ina di malam Minggu bertemu dengan mahluk yang bernama Herry. Orangnya cukup sopan dan dewasa dibanding kan kami yang waktu itu masih SMA.
Dan selama di sana, dia hanya berkumpul atau mengobrol dengan orangtua Ina, kakak, dan adik-adiknya. Tak pernah sekalipun dia mencoba mengusik hubunganku dengan Ina, walapun dari Ina aku mendapatkan informasi kalau sebenarnya Herry tertarik kepadanya. “Keluargaku mendesak agar aku rnenikah dengan dia.
Aku sudah berusaha menolak Ib, aku sudah bilang sama mereka kalau aku akan tetap menunggu kamu. Bahkan sampai aku pernah kabur dari rumah ke tempat nenek di Sumedang. Mereka bilang apa yang diharapkan dari kamu, mahasiswa yang belum jelas masa depannya. Mereka selalu membandingkan kamu dengan apa-apa yang telah diperbuat Herry kepada keluargaku.” Ina terdiam sejenak, menarik nafas panjang untuk menenangkan perasaannya.
“Tapi sewaktu penyakit jantung ibu kambuh lagi dan di rumah sakit dengan terbata-bata ibu meminta agar aku menerima lamaran Herry, aku tidak berdaya Ib. Aku tidak tega, aku takut ibu meninggal karena aku.” Ina terdiam sejenak. “Aku hanya ingin berbakti pada orangtuaku Ib,” lanjutnya lirih.
Aku hanya terdiam mendengar cerita Ina, tidak tahu harus berbuat dan berkata apa. Perasaanku teriris-iris mendengar penuturannya. “Aku memang miskin! Masa depanku memang belum jelas! Tapi aku punya harga diri!” jeritku dalam hati. Malam itu adalah malam terakhir aku bertemu Ina, karena malam itu juga dengan rasa amarah yang amat sangat aku kembali ke Yogyakarta. Aku dendam pada Herry dan sangat benci pada Ina dan keluarganya. Sejak itu aku merasa dingin terhadap wanita.
Baca Juga : Maafkan Aku, Sarah
Akhirnya, aku mampu menyelesaikan kuliah dengan predikat sangat memuaskan. Karena prestasi itu, aku mendapatkan bantuan beasiswa dan perusahaan, di mana aku bekerja sekarang, untuk meneruskan S-2 di luar negeri. Setelah selesai aku langsung diterima bekerja di perusahaan itu.
“Ibnu, sudah adzan magrib tuh nak, kita buka dulu ya.” suara lembut ibu menyadarkan aku dari lamunan pada masa lalu. “Iya, bu,” jawabku singkat. Sayup sayup kudengar adzan magrib tanda berbuka puasa telah tiba.
Tak terasa hampir satu bulan sudah aku bertugas di pos yang baru ini. Selama itu pula tubuhku terasa lelah akibat pergolakan batin yang terjadi pada diriku, antara memuaskan nafsu balas dendam pada makhluk yang bernama Herry dan sikap profesionalku sebagai pimpinan.
Dan catatan prestasi perusahaan dapat kuketahui “musuh besar” dalam kehidupan pribadiku yang bernama Herry ini adalah juga tenaga marketing yang sangat andal bagi perusahaan. Akibatnya, setiap bertemu di kantor, kami sama-sama menjaga jarak.
Sore itu, adik-adik telah keluar rumah dengan acaranya masing masing. Di rumah tinggal aku dan ibu. Kalau sudah begitu sering kurasakan kesunyian yang mendalam. Memang sejak aku “dipaksa” berpisah dengan Ina oleh keluarganya, aku telah bertekad jangan sampai adik-adik mengalami hal yang sama.
Aku telah bertekad keluargaku harus dapat dihargai oleh orang lain!
Gema takbir berkumandang dimana-mana menandakan malam itu adalah malam takbiran dan besok pagi kami akan merayakan Han Raya Idul Fitri 1419 H. Dari taman yang terletak di belakang rumah kutatap rembulan yang mengintip dan balik awan.
Kunikmati salah satu bukti kebesaran Illahi menemani kesunyian yang aku rasakan.
“Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar walilla ilham.” Bibirku bergetar mengikuti takbir yang berkumandang dan masjid di dekat rumah. “Ibnu...” Sebuah suara lembut mengejutkanku, suara yang telah lama tak kudengar namun masih mampu membenikan getar kecil di hatiku. “Maaf Ib, ketika aku datang Ibu sedang menonton TV.
Setelah kami mengobrol, beliau menyuruhku menemui kamu di smi.” Lanjut Ina menjelaskan setelah melihat keterkejutanku. “Apa kabar In?” tanyaku sambil kujabat tangannya. Getar-getar yang dulu pernah kurasakan masih tersisa, namun cepat-cepat kubunuh perasaan itu.
Setelah berbasa-basi sebentar, kemudian Ina menceritakan maksud kedatangannya. Herry, suaminya, telah sepekan ini bersikap aneh, marah marah tanpa sebab dan segan-seganan berangkat bekerja.
Setelah didesak, Ina baru tahu kalau aku menjadi pimpinannya yang baru, sehingga Herry khawatir kalau-kalau aku akan mempergunakan wewenang yang kumiliki untuk menjatuhkannya.
“Ib, mungkin aku terlalu naïf memberanikan din datang ke sini tanpa sepengetahuan Kang Herry. Tapi aku harus menyelamatkan rurnah tanggaku dan mengembalikan kepercayaan dirinya Ib.” Jelas Ina mengakhiri ceritanya.
“Ina aku heran kenapa dulu kamu bisa mengkhianati aku?!” Tanyaku tanpa mempedulikan ceritanya, ada nada marah dalam suaraku yang tak mampu kubendung lagi, egoku keluar tanpa kusadarj. “Lihat akibat perbuatan yang telah kalian lakukan dulu, sampai sekarang aku masih sendin, sampai-sampai rumah ini terasa sunyi.” Kata-kataku meluncur tak dapat kutahan. Ina menunduk terdiam, air matanya hampir mengalir.
“Aku memang salah.” Isaknya tendengar berbisik. Tiba-tiba, pintu belakang terbuka dan seorang bocah lelaki berusia sekitar tiga tahunan langsung berlari ke pangkuan Ina. “Mama, Mama kenapa?” Anak itu menatap Ina. “Oom nakal, ya?” katanya lagi sambil menoleh dan menatapku dengan tajam. “Yakim sini sama nenek,” panggil ibuku dan pintu.
“Biar bu, Ina mau kenalkan Yakim sama Oomnya,” jawab Ina cepat. “Iya deh, nanti main lagi sama nenek, ya, sayang,” kata ibu ditujukan pada si bocah. “Ibnu ingat pesan ibu, ya,” kata ibu lagi padaku. Ibu selalu menasehatiku agar tidak perlu sakit hati pada Ina dan keluarganya, karena Ia Yang Maha Mengetahui telah menggariskan jalan kehidupanku seperti ini, karena di balik semua itulah kesuksesan yang kunikmati sekarang ini berada.
Anak itu masih dalam pangkuannya dan menatapku dengan tajam ketika Ina baru menyadari air matanya hampir turun. “Tidak apa-apa sayang. Eh, sana salim dulu sama Oom Ibnu,” ujar Ina sambil dengan cepat menghapus air mata yang hampir mengalir di pipinya.
Hatiku bergetar melihat bocah kecil itu. Kutatap matanya yang polos tanpa dosa, perasaan sayang langsung timbul melihat wajahnya yang mungil. Kuraih ia dari pangkuan Ina, aku peluk tubuh kecil itu, kurasakan rasa sayang yang mendalam di diriku. Aku telah lupa pada rasa marahku.
“In, sebenarnya sudah lama aku telah memaafkan kamu, keluargamu, dan Herry. Pulanglah, mungkin suamimu telah menunggu kamu. Besok ajak suamimu bersilaturahmi menemui ibuku, karena kebetulan aku memang mengundang karyawan dan karyawati beserta keluarganya berkumpul merayakan Hari Raya Idul Fitri di sini besok sore.
Nanti akan kuselesaikan masalahnya,” kataku setelah puas bercengkerama dengan Yakim. Setelah Ina pulang masih terngiang-ngiang kata-kata Ina: “Ib, sampai kapan pun kamu tetap menjadi bagian yang istimewa dalam perjalanan hidupku. Namun sudah kehendakNya kita tidak saling memiliki, cukup hanya nama belakangmu yang kumiliki untuk anakku agar dia selalu menjadi orang yang bijak seperti kamu.
Di benakku telah tersimpan rencana untuk besok, akan kukenalkan Heni, tunanganku, pada mereka. Akan kujelaskan pada Herry bahwa masa lalu telah aku kubur dalam dalam. Akan aku ajak Heni meraih masa depan dengan memacu prestasi yang lebih baik lagi.
“Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar walillahilham.” Bibirku bergetar mengikuti takbir yang berkumandang. “Ya, Allah, telah kau beri lagi sebuah kemenangan pada diriku pada hari ini. Sebuah kemenangan besar untuk mengalahkan musuhku yang terbesar, yaitu diriku sendiri!” jeritku bersyukur di hati.
Bagikan ke WhatsApp
No comments:
Post a Comment
Selamat datang di Blog Saya, silakan beri komentar Anda di artikel ini, berkomentarlah yang sopan dan sesuai isi artikel. Terima Kasih.