MAAFKAN AKU, SARAH

MAAFKAN AKU, SARAH


Kalau mau dibilang hati siapa yang paling berduka ketika itu, bukanlah orang lain, melainkan diriku sendiri. Ketika itu, awal Maret 1992, aku merasa terpanggil saat diminta untuk mengisi sebuah acara yang diadakan di luar kota Ujungpandang, tepatnya di daerah Bulu’dua, Kabupaten Soppeng. Daerah yang terletak di kaki perbukitan dua gunung itu sungguh indah pemandangannya saat mentari pagi merekah. Pematang-pematang sawah dengan padi yang menguning terhampar indah, sementara para petani terlihat sibuk mengusir burung burung pemakan padi.

Sejenak aku merasa agak terguncang dan lamunanku. Kulihat sekelilingku, tak terasa hari mulal gelap. Bis yang kutumpangi bersama-sama teman mulai semakin panas. Bis yang disewa temanku ini memang tak ber AC, sehingga suasana di dalamnya seperti sebuah konser karena setiap penumpangnya terlihat mengayun kan apa saja yang dapat mendinginkan udara.

“Uh... panas betul nih,” keluh seorang temanku dan kursi paling belakang. Aku hanya bisa tersenyum melihatnya, karena kursi yang se harusnya hanya untuk empat orang, kini didudukinya bersama enam pe numpang lain. Tak heran, jika di bagian belakang bis menjadi cukup panas.

"Aduh... masih lama ya sampai nya", keluh seorang peserta putri yang terlihat gelisah ingin cepat-cepat tiba di tujuan. Tiba-tiba dan arah depan bis terdengar suara yang cukup keras: “Sebentar lagi kita akan sampai. Satu kali lagi lewat belokan tebing, kita akan turun. Tenang saja.” Setelah suara itu menghilang, baru aku sadar ternyata itu suara ketua rombongan yang membawa kami semua ke daerahnya.

Sejak dari Ujungpandang tadi siang, selain mempersoalkan peserta yang akan diikutsertakan dalam acara, teman-temanku memang telah mengeluhkan masalah transportasi. Aku sendiri tak begitu peduli, siapa saja yang diikutsertakan dalam acara itu. Bagiku yang penting aku bias jalan-jalan ke daerah tanpa biaya, dapat makan lagi. Sepanjang jalan aku lebih banyak diam, ketimbang ngobrol dengan teman sebangku yang memang tak kukenal sebelumnya. Lamunanku masih menerawang kemana-mana. Entah apa yang bias aku lakukan untuk mereka, sehingga aku begitu saja bergabung dengan mereka. Akh, malu nanti kalau-kalau acara yang kebetulan aku bawakan tidak mereka sukai atau bahkan akan mengecewakan mereka.
Sebelumnya, memang telah kukatakan kepada teman dekatku.

“Man, aku enggak bisa apa-apa. Apalagi, untuk acara yang aku juga belum ngerti seperti apa. Dan aku pun belum pernah latihan bersama mereka.” “Alah... aku percaya sama kamu. Kamu pasti bisa, aku yakin dengan permainan gitarmu. Pokoknya, kamu ikut dalam acara itu,” ujar temanku, Sudirman.

“Ikut sih ikut, tapi kapan latihannya? Yang perlu latihan adalah penyanyinya, bukan pemain gitarnya,”sahutku. “Kamu enggak perlu latihan di sini karena memang waktunya mepet banget, mana sempat. Sudah, pokoknya hafalin aja lagu-lagu Bimbo. Jangan lupa kalau ada lagu baru,” katanya lagi.

“Aduh... ini namanya kamu bener bener ngerjain.” “Aku enggak mau tahu, pokoknya kamu harus ikut, titik. Yang penting jangan lupa hafalin lagu-lagu Bimbo.” Entah berapa lama aku tertidur. Aku terbangun ketika bis yang kutumpangi tiba-tiba berhenti. Kubuka mataku yang masih agak mengantuk. Kubasuh wajahku dengan sapu tangan yang memang sudah lusuh. Entah sudah berapa lama saputangan ini kugunakan untuk mengeringkan keringat yang selalu saja membasahi setiap pergelangan tangan dan leherku. Kuamati sebentar keadaan dalam bis yang hiruk pikuk dengan penumpangnya yang ingin cepat-cepat turun dan istirahat.

Setelah semua rombongan turun, baru aku membenahi tas ransel yang sengaja aku selìpkan di bagian belakang bis supaya tidak memberatkanku. Kuturuni tangga bis dan berjalan beriringan dengan rombongan. Di tengah kepenatan masìh sempat kudengar derai tawa gadis-gadis kecil yang lucu akan cerita di perjalanan dan entah cerita apa lagi yang membuat rombongan itu tertawa.

Baca Juga : Hari Kemenangan

Aku merasakan kehadiranku menjadi asing karena setiap yang mereka bicarakan hanya mengenai mereka dan acara yang akan mereka pentaskan. Selentingan aku mendengar diantara mereka ada yang membicarakan pemain gitar yang akan mengisi acara.

Langit yang kujunjung memang agak sedikit berbeda dengan yang lain. Sebentar kutengok sinar pagi di balik jendela tempat kami menginap. Kutelusuri pandanganku ke lereng gunung dan perbukitan. Angin semilir menerpa kulit wajahku, semakin kurasakan betapa indahnya desa ini. Entah sampai kapan kunikmati keayuan wajah desa ini.

Selagi kunikmati indah alam ini terdengar suara menegurku. “Rud, gimana tidur semalam enak enggak?” “Yah, lumayan. Cuma dingin banget di sini. Lihat tuh selimut yang kupakai sampai tiga lapis. Itu pun aku masih kedinginan,” jawabku. “Tapi sekarang sudah enggak dingin lagi kan,” kata Sudirman. Teman baikku yang pernah ku kenal ini orangnya memang cukup urakan. Namun bila di depan cewek, penampilannya akan cepat berubah menjadi lebih formal, tidak seperti yang kuhadapi sekarang. Ada yang membuat aku suka pada kepribadiannya, yaitu tak pernah ambil pusing akan keberadaan dirinya, baik di tengah orang banyak maupun untuk pribadinya sendiri. Bisa kukatakan orangnya cukup cuek. Itu barangkali yang membuat dirinya bisa lebih maju ketimbang teman-temannya yang lain. Soal solidernya aku enggak meragukan lagi. Banyak teman-teman yang selalu dibantunya.

“Nih, kopimu. Cepetan diminum, biar nggak kedinginan,” katanya sambil menjulurkan secangkir kopi kepadaku. Kuteguk kopi yang diberikan temanku sambil kutanyakan: “Man, desa ini apa namanya?” “Desa Gattareng. Emang kenapa, kamu suka di sini atau kamu sudah ada lihatan nih,” jawabnya. “Ah, kamu ngawur aja, Man,” bantahku. “Oke, sekarang udah jam sembilan. Jam berapa kita latihan dan di rumah siapa?” kataku lagi. “Tenang, yang lain sudah berangkat duluan, sebentar kita nyusul. Habiskan dulu kopimu.” “Latihannya dimana sih Man,” tanyaku lagi. “Enggak jauh kok, itu di rumahnya Sarah, cewek yang duduk di depan bangkumu waktu di bis.”

Oh, yang itu. Aku pura-pura mengerti aja apa yang diucapkan temanku itu. Soalnya aku memang enggak pernah lihat kalau di depan bangku itu ada seorang cewek. Dibuyarkannya pikiranku dengan ajakannya. “Ayo, kita berangkat sekarang. Bawa gitarmu, Rud.” “Ayolah,” jawabku tanpa komentar. Kuikuti langkah temanku dari belakang.

Suasana di tempat latihan memang sudah agak ramai. Aku terpaksa menyendiri dulu, walau kutahu sudah banyak di antara penyanyi vokal grup minta diiringi untuk menyanyi. Dengan gayanya yang khas serta pujiannya yang selangit, Sudirman mengenalkan aku kepada teman-temannya, terutama teman cewek-ceweknya.

“Sudahlah, Man, jangan berlebihan nanti leherku tambah panjang,” candaku.
Dua jam latihan akhirnya aku baru dapat menyesuaikan dengan mereka. Kupilihkan lagu Bimbo berjudul Rindu Rasul.
Ketika waktu istirahat, ada sekelebatan di wajahku mata lentik yang selalu tertuju padaku. Entah sudah berapa lama sinar itu memberikan cahayanya padaku. Semakin kumenghindar makin terang cahanya.

Aku tertegun sebentar dan kulanjutkan istirahatku sambil kureguk kopi manis, semanis bunga yang kulihat tertata rapi di taman pekarangan. Seperti biasa aku selalu memisahkan diri dari gelak dan canda mereka. Aku memang selalu menikmati keindahan alam desa. Tanpa sadar dibelakangku telah berdiri seorang gadis.

“Aduh, asyik betul yang minum kopi. Tambah kak?” sapanya padaku. Aku terkesima dibuatnya. Sambil terus berpikir, alam pikiranku mulai mengembara jauh ke dalam cahaya yang masih menimpa diriku. Panas memang, namun baranya membuatku selalu bertanya-tanya: Mungkinkah gadis secantik dia yang melakukan semua ini? “Ya,” kujawab secepatnya, meski sebetulnya aku agak enggan untuk minum kopi lagi. Namun agar tidak mengecewakan hatinya, kuminta gelasku yang sudah hampir habis untuk diisi lagi. Ia kemudian mengulurkan tangannya padaku. “Oh, ya, kenalkan nama saya, Sarah.”
Kujabat tangannya sambil kusebutkan namaku, “Rudy.”

Itulah awal perkenalanku dengan Sarah. Kami tak begitu banyak ngobrol, karena disibukkan dengan latihan. Sesekali ia melemparkan senyumnya kepadaku, dan aku pun segera membalasnya.

Malamnya, acara yang mengisi gelar Nada dan Dakwah satu per satu mulai dipentaskan. Kini tiba giliran acara hiburan yang memang sudah kupersiapkan. Sayup-sayup terdengar lagu Bimbo yang dialunkan oleh beberapa orang gadis.
Rindu kami padamu ya Rasul, Rindu tiada terperi, Berabad jarak darimu ya Rasul, terasa engkau di sini.
Samar-samar lagu tersebut makin mengecil dan akhirnya menghilang di tengah riuhnya tepukan para penonton.

Usai sudah acara malam itu, namun di hati kurasakan lain. Pagi harinya, kulihat di balik lereng gunung ada tertinggal segumpal awan putih yang menutupi birunya langit di cakrawala. Di tengah lamunanku, kudengar suara merdu memanggil namaku. Aku hafal betul siapa pemilik suara itu.
“Kak Ruddy!” “Eh, Dik Sarah, darimana,” sapaku.
“Dan kebun, kak. Ini saya bawakan kelapa muda, mungkin kakak suka,” ujarnya lembut. “Oh, tentu. Berikan parangnya, biar saya yang kupas. Kamu sebaik nya siapkan gula merahnya, biar tambah enak,” kataku kepadanya.

“Wah, saya kira kakak enggak suka kelapa muda,” godanya.
“Siapa bilang?”
“Tadi hampir saja saya berikan kepada yang lain,” katanya sambil tersenyum. Mendengar ucapan itu, kubalikkan wajahku padanya seraya bertanya, “apa yang lain sudah kebagian?” “Belum, kak,” jawabnya. “Berikanlah pada teman-teman lain, karena tak mungkin kelapa ini kita makan semua.”. “Tapi ini hanya untuk kakak.” Kudengar suaranya agak kecewa. “Hmm, baiklah, ini untukmu minumlah. Airnya cukup segar, apalagi kalau dicampur dengan gula merah.”“Kak, maaf, ya, Sarah mau tanya, kenapa sih kakak selalu menyendiri dan nggak pernah kumpul dengan yang lain?”

“Ah, nggak apa-apa. Saya cuma senang menyendiri. Habis saya nggak punya bahan yang mau diomongin, jadi enakan sendiri,” jawabku. “Oh, begitu. Mudah-mudahan Sarah nggak mengganggu kesendirian kakak.”“Tidak, kok.” Kulihat di raut wajah gadis itu tergambar hiasan lembayung yang penuh harap untuk dihiasi setitik kasih dan embun pagi yang selalu kemarau.

“Dik Sarah, besok saya akan kembali,” kataku kepadanya. “Kembali ke Ujungpandang,kak?” “Bukan, saya akan kembali ke Jakarta. Entah kapan lagi saya akan kembali ke sini.” Ada sekat-sekat duka mengaliri dada gadis itu. Aku mengerti gadis kecil, di matamu kulihat kasih yang teduh untukku. Namun aku tak ingin kau kecewa dalam penantian. Aku tak mungkin memberikan hati ini padamu. Kau masih terlalu muda untuk mengenal manisnya cinta dan pahitnya duka. Penantian adalah suatu yang tak pasti, tapi kepastian bukanlah khayalan. Maka, carilah kepastian itu di desamu sendiri.
Desa ini terlalu indah dan butuh sentuhan lembut tanganmu untuk tetap merasakan manisnya kasih alam yang diberikan oleh-Nya.
“Selamat tinggal Sarah, semoga kita dapat bertemu lagi.”
“Selamat jalan, kak.”

Itulah ucapan yang kudengar terakhir kali dari bibirnya yang mungil. Kujalani pematang sawah dan kudekati sungai itu, ternyata mata airnya terus mengalir. Aku tak mungkin membendungnya, karena malam telah penuh menutupi bumi. 

Bagikan ke WhatsApp

No comments:

Post a Comment

Selamat datang di Blog Saya, silakan beri komentar Anda di artikel ini, berkomentarlah yang sopan dan sesuai isi artikel. Terima Kasih.

Artikel Populer